INDONESIA menjadi salah satu
lumbung perdagangan manusia
(trafficking) di dunia. Setiap tahunnya rata-rata sebanyak 3.000-4.000
perempuan dan anak-anak diperdagangkan. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji
besar, mereka dibawa ke luar negeri dengan cara illegal atau tanpa surat-surat
resmi. Namun,jumlah di Indonesia hanya sebagian kecil dari jumlah kasus trafficking di dunia yang
diperkirakan mencapai 6-7juta pertahunnya.
Tahun
2011 Komisi Nasional perlindungan Anak menerima pengaduan 480 anak korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak),
jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada jumlah pengaduan tahun 2010 yakni
412 kasus. Peningkatan angka ini cukup memprihatinkan. Modusnya, selain tipu
muslihat, janji-janji untuk dipekerjakan, tetapi juga berkembang modus baru
yakni penculikan dengan pembiusan yang dilakukan bagi anak-anak remaja pada
saat pergi dan pulang sekolah maupun melalui kecanggihan teknologi seperti
internet dan situs-situs lainnya. Data yang diterima Komnas Perlindungan Anak
dari hasil investigasi Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Kota Pontianak di Malaysia tahun 2010, diperbatasan
antara Brunei Darusalam dan Malaysia, ditemukan ratusan anak-anak remaja
Indonesia terjebak menjadi korban eksploitasi seksual terselubung. Anak-anak
remaja Indonesia yang direkrut oleh sindikat terorganisir perdagangan anak
untuk dipekerjakan untuk melayani para penikmat seksual sampai saat ini belum
juga bisa diselamatkan, walaupun masalah
ini juga sudah dilaporkan kepada pemerintah daerah. Fakta ini tentu saja
membuat masyarakat waswas, terutama bagi mereka yang memiliki anak-anak balita
dan usia sekolah. Tidak pandang bulu, siapa pun bisa menjadi target kejahatan
ini, entah kalangan masyarakat ekonomi bawah maupun atas. Ketidaktentuan
sasaran ini sangat mungkin berkaitan erat dengan kasus kejahatan lainnya,
seperti perdagangan manusia (human
trafficking) yang belakangan juga memperjualbelikan anak-anak. “Artinya,
kejahatan penculikan anak tidak lagi sekadar mencari uang tebusan atau sebagai
sarana pelampiasan dendam pada orang tua anak, seperti yang sudah pernah
terjadi sebelumnya.
Kasus
terbesar yaitu Perdagangan Manusia
(human trafficking ) bentuk modern dari perbudakan yang seharusnya tidak
boleh terjadi,” jelas Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen
Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Ella Yulaelawati saat ditemui Warta PAUDNI, belum lama ini. Menurut
dia, setidaknya ada sepuluh provinsi yang menjadi lumbung trafficking. Di
antaranya yaitu Sumatera Utara, Lampung,
Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Mereka ada
yang dijadikan pelacur, penghibur bayaran, dan pemuas nafsu majikan mereka.
Tingginya angka putus sekolah (drop out/DO) di tingkat sekolah dasar (SD) dan
SMP/MTs, karena faktor ekonomi, diduga menjadi salah satu faktor pemicu
terjadinya perdagangan manusia (trafficking). Hal itu terlihat dari tingginya
kasus trafficking dengan korban anak-anak di daerah kantong-kantong kemiskinan
di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. “Jadi, ketika ada tawaran kerja,
apalagi dengan iming-iming gaji yang besar, maka anak-anak yang tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai gampang saja menerima tawaran itu.
Termasuk untuk dipekerjakan sebagai buruh migran,” kata Ella.
Angka
DO paling tinggi terjadi pada tingkat SD dari kelas satu sampai kelas tiga,
yang jumlahnya mencapai 700 ribu hingga 800 ribu setiap tahunnya. Sementara
potensi putus sekolah terjadi di tingkat SMP/MTs dengan angka putus sekolah
rata-rata sebesar 240 ribu orang per tahun. “Tingginya angka DO di tingkat SD
dan SMP perlu diwaspadai kepala daerah karena anak-anak dengan tingkat
pendidikan sangat rendah rawan menjadi korban perdagangan orang, yang biasanya
berkedok misi kebudayaan atau bekerja di luar negeri,” paparnya. Data UNICEF mencatat, jumlah kasus
perdagangan orang dalam setahun rata-rata mencapai 100 ribu orang di mana 30
persen diantaranya anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sedangkan Jaringan Kerja
Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mencatat, pada kurun 2005-2006 terdapat 808
orang menjadi korban perdagangan dengan tujuan Malaysia, Singapura, dan Jepang.
Sementara itu, data dari Kepolisian RI menunjukkan angka yang lebih tinggi. Pada
2005 terdapat 1.600 anak menjadi korban perdagangan dengan kasus terbesar di
Pontianak, Batam, Denpasar, dan Indramayu.
Direktur
Pembinaan Pendidikan Masyarakat itu menambahkan, selain memalsukan dokumen
anak-anak usia di bawah 18 tahun, pengiriman anak-anak menjadi buruh migran 30
persen dilakukan secara terselubung. Karena itu, ia menilai upaya mencegah
kasus-kasus tindak pidana orang salah satunya adalah dengan pendidikan. Tingkat
pendidikan yang tinggi, kata Ella, tidak hanya meningkatkan bargaining power
atau posisi tawar seseorang dalam masalah tenaga kerja, tetapi juga sekaligus
meningkatkan kesadaran orang akan bahaya trafficking.
Mencegah lebih baik
Kemdikbud
sebagai leading sector pencegahan telah meluncurkan beberapa program. Misalnya
bersama Save the Children menginisiasi program ENABLE (enabling communities to
combat child trafficking through education) atau pemberdayaan masyarakat untuk
memerangi perdagangan anak melalui pendidikan. Program itu, lanjut Ella,
dirancang terhadap pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang ialah dengan menerbitkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO). Selain itu, pemerintah membentuk
Gugus
Tugas sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2009 tentang Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan menetapkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku koordinator sub gugus tugas bidang
pencegahan dan partisipasi anak.
Sesuai
misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dirangkum dalam 5 K,
yaitu; 1) meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan, 2) meningkatkan
keterjangkauan layanan pendidikan, 3) meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi
layanan pendidikan, 4) meningkatkan kesetaraan dalam memperoleh layanan
pendidikan, 5) meningkatkan kapasitas/keterjaminan dalam memperoleh layanan
pendidikan, maka program sub gugus tugas pencegahan PTPPO perlu
disinkronisasikan dan dikoordinasikan dengan anggota subgugus tugas pencegahan
dan praktisi lapangan yang selama ini untuk menggiatkan upaya memerangi
perdagangan orang secara lebih terencana dan menyeluruh. “Perhatian khususnya
ditujukan untuk mencegah terjeratnya kelompok rentan dalam perdagangan orang terutama anak,” katanya.
Kemitraan
Kemdikbud dengan LSM telah memperkuat kemampuan masyarakat yang terlibat penuh
dalam siklus program mulai dari identifikasi masalah, data, hingga pelaksanaan
kegiatan. Program itu telah menghasilkan 100 komite pendidikan masyarakat desa (KPMD) yang tersebar pada 10 provinsi.
Ditambahkan, kerja sama antara unsur pemerintah, lembaga internasional, lokal,
dan masyarakat perlu diperluas dan terus dibina.
Untuk
itu diperlukan SOP atau standar operational prosedur lewat pencetakan buku
panduan, sebagai dasar langkah untuk mengatasi akar masalah sekaligus menjadi
jalan menuju penghapusan perdagangan orang. Dalam hal ini, peran Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sangat strategis karena pada prinsipnya mencegah jauh
lebih baik daripada pemulangan, rehabilitasi, dan reintegrasi korban
perdagangan orang,” katanya.
Gugus Tugas PTPPO
Dalam
melaksanakan rencana aksinya, KPMD telah memfasilitasi 10.500 anak agar tidak
putus sekolah dan 3.000 anak difasilitasi untuk melanjutkan pendidikannya lewat
sejumlah program pendidikan di Direktorat Pendidikan Masyarakat. Program itu
terutama ditujukan bagi anak-anak perempuan yang selama ini banyak menjadi
korban trafficking. Menurut Ella, anak-anak yang sebagian besar perempuan itu
selain mendapat pendidikan seperti halnya anak belajar di sekolah formal, juga
dibekali dengan keterampilan yang bisa
digunakan untuk bersaing di dunia kerja.
“Bentuk
keterampilannya disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Sebab,
penting juga melakukan pekerjaan yang disukai, agar hasilnya maksimal,”
tukasnya. Selain itu, dikarenakan pendidikan sangat terkait dengan keaksaraan,
diadakan juga kegiatan peningkatan budaya tulis perempuan melalui Koran Ibu.
Pelatihannya berbentuk tulisan jusnalistik sekaligus penguatan aksara melalui
berbagai media informasi dan teknologi.
Sasaran
yang diprioritaskan dalam kegiatan ini adalah perempuan berusia 18 tahun ke
atas terutama bagi aksarawan baru atau memiliki kompetensi aksara dasar, atau
kelompok perempuan yang membutuhkan layanan khusus seperti kelompok rawan kekerasan,
rentan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dan trafficking.
Ada
juga program meningkatkan budaya tulis melalui koran anak di wilayah yang rawan
perdagangan anak dan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk rawan bahaya
narkoba dan HIV AIDS. Ella mengemukakan, Salah satu bentuk komitmen Pemerintah
Indonesia telah memiliki komitmen dan program program yang bertujuan dengan
upaya upaya pencegahan dan penghapusan TPPO.
UU
ini didasarkan pada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyebutkan: Perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman,
atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi
atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang
mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Protokol PBB
tahun 2000 ini dimaksudkan untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum
Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara.
Artikel
lainya :
0 komentar:
Posting Komentar
Selamat datang di blog kami, jika anda berkenan silahkan tinggalkan komentar. Terima kasih.