Home » » Ada Apa Dengan Pendidikan Kita

Ada Apa Dengan Pendidikan Kita


Prihatin, ada rasa prihatin jika memperingati Hari Pendidikan Nasional, PRIHATIN! Prihatin karena masa depan anak2 mereka masih tetap dijadikan alat eksperimentasi penguasa melalui Ujian Nasional (UN) yang sangat carut marut. Prihatin karena mendiknas masih tetap ngotot, bahwa mereka mampu menyiapkan infrastruktur Ujian Nasional yang telah dicabut kekuatan hukumnya oleh MA jika tidak mampu menyiapkan dan melaksanakan Ujian Nasional. Prihatin berikutnya, tidak ada proses pembelajaran yang diambil oleh penguasa pendidikan dari tahun ke tahun, justru semakin kesini semakin buruk saja persiapan hingga pelaksanaan UN. Terus akan jadi apa generasi penerus bangsa ini jika sistem pendidikan tidak dapat memberikan contoh positif terhadap anak-anak didik kita? Contoh-contoh faktual yang terus ditiru oleh anak-anak kita dari penguasa pendidikan antara lain: proses instant untuk “menjadi”; karakter yang tidak peduli pada pendapat lingkungan sekitar; tindak kekerasan yang terus tumbuh dan berkembang; menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan; dan masih banyak hal negatif lainnya yang tumbuh subur di kalangan anak-anak didik kita karena proses peniruan yang terus dipertontonkan oleh penguasa pendidikan dari level terendah hingga tertinggi. Padahal temuan-temuan baru dalam ilmu otak menunjukkan bahwa otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh membesar. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Artinya, kecerdasan seorang manusia dapat tumbuh berkembang ketika kerap memperoleh stimulan positif, tapi sebaliknya pun dapat menurun. Dibawah ini ada cerita menarik tentang pendidikan anak, monggo direnungkan, semoga bermanfaat bagi guru-guru dan tentu saja untuk kita semua selaku pendidik di dalam keluarga. 15 tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan bahasa Inggris yang ditulis seadanya oleh anak saya diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana dan saya minta dia untuk memperbaiki kembali, sampai akhirnya dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan perlukesungguhan? Kalau begini dapat nilai tinggi, saya khawatir anak saya akanmerasa puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat: “Maaf, Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum. *BUDAYA MENGHUKUM* Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami: mendidik bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju…..Encouragement !” Dia pun melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya jamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik, dapat ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya dapat melewati dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji lain tidak ikut menekan, melainkan membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan sejelas-jelasnya sehingga saya makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Etika seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa ditebak, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat amat. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan, atau bahkan peniruan apa adanya. Saya ingat bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan karakter yang merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan“, ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya jadi teringat rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal (kalimat) Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti contoh berikut: “Sarah telah memulainya dengan berat, dia telah mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti. *MELAHIRKAN KEHEBATAN* Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan lain seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman, dan tentu saja tulisan berwarna merah di kertas ujian dan rapor. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di sisi lain dia bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat dan motivasi anak. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantu dan doronglah orang lain untuk maju, bukan dengan cara menghina atau mengancam dan menakut-nakuti. RHENALD KASALI, Thursday, 22 July 2010
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog kami, jika anda berkenan silahkan tinggalkan komentar. Terima kasih.

 
Support : pkbm | silvasrg | google+
Copyright © 2010-2015.. - All Rights Reserved
Created by Build Blog Published by Mas Munif
Proudly powered by Blogger | Mekarsari